IT pada pra-operasi militer
Jauh sebelumnya, intelijen AS akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Kalau
satelit sipil seperti Ikonos atau Quickbird hanya mampu membuat citra
dengan kehalusan pixel satu atau setengah meter, maka kita harus yakin
bahwa satelit mata-mata akan mampu membaca tulisan koran.
Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.
Dengan citra dan topografi ini, AS bisa membuat
peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu ijin atau sepengetahuan
pemerintah manapun. Memang, dari peta ini beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui. Untuk
itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek
terutama yang dianggap vital dan tak “terbaca” dari angkasa. Juga tempat-tempat yang diduga berranjau. Mereka akan “berwisata” sambil merekam objek-objek “menarik” dengan piranti sistem posisi global (GPS). Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di Iraq juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri tak diketahui ada di mana.
AS memiliki peta yang lebih rinci dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan
data spasial tiga dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi
terbang yang sangat realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model
elevasi digital (DEM) yang ada pada sistem ini juga yang menuntun
rudal jelajah Tomahawk atau pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien,
tanpa takut menabrak gunung atau apapun.
Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk
itu intelijen AS menyadap informasi yang lalu lalang via jaringan
telekomunikasi (dengan satelit AS), juga data perbankan dan data kartu
kredit. Dengan analisis database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa diikuti. Ostrovsky (1990) dalam By Way of Deception
melukiskan, bahwa dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau
Mossad bisa mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai
seseorang, berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang
sering diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke
mana. Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punya background & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.
CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Misalnya,
bahwa di suatu desa ada sekian penduduk, sekian yang bisa perang,
sekian janda (mungkin disiapkan untuk “hiburan” tentara AS), sekian ton
pangan, dan sebagainya. Informasi itu penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan Laporan Geografi Militer dari seluruh dunia.
Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka
bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh
dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti
gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang “keuntungan” perang dalam jangka panjang.
Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil, sistem
semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam seperti
banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang
tepat untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan
reboisasi Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 Trilyun?; dengan
pompanisasi?; dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?;
atau apa? Sayang sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian kaum muslimin.
Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu pengambilan keputusan. Bisa
jadi keputusan kapan perang dimulai, atau suatu rudal diluncurkan,
tidak di kepala George Walker Bush, apalagi PBB, melainkan pada sistem
pendukung keputusan (decission support system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar