Minggu, 18 Maret 2012

IMPLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP STRATEGI DAN MANAJEMEN PERTAHANAN

ORASI ILMIAH
IMPLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP
STRATEGI DAN MANAJEMEN PERTAHANAN

Oleh :
Peserta Kursus Manajemen Perencanaan dan Penganggaran
Pertahanan Angkatan XXII TA 2003
“If the 1980′s were about quality and the 1990′s were about reengineering, then the 2000′s will be about velocity”. (Bill Gates, At the Speed of Thought)
Pendahuluan
Saat ini, teknologi informasi sudah menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Teknologi informasi tidak hanya dipakai dalam bidang industri ataupun ekonomi, tetapi juga di bidang pertahanan dengan implikasi yang sangat luas terutama di tinjau dari perumusan strategi maupun penerapan manajemen. Implikasi teknologi informasi dilihat dari sisi strategi dan perumusan doktrin menyebabkan terjadinya pergeseran apa yang oleh Clausewitz disebut sebagai ” center of gravity ” yaitu dari konsep penguasaan medan kritik menjadi penguasaan informasi. Oleh karenanya hakekat ancaman pun, bergeser dari ancaman yang datang dari negara (state threat) melalui penggunaan senjata pemusnah massal menjadi kelompok (non state threat) dengan penguasaan teknologi tinggi. Sedangkan dari sisi penerapan manajemen terjadi pergeseran paradigma dari manajemen yang semula terfokus pada kualitas bergeser menuju reengineering dan terakhir mengacu pada kecepatan (velocity) melalui konsep Knowledge Management (KM).
Susjemen Rengarhan yang tengah berjalan saat ini mengajarkan salah satu topik manajemen khususnya tentang perencanaan strategik / PS (strategic planing). Inti dari kursus ini adalah latihan praktek penyusunan dokumen strategik jangka pendek berupa Daftar Usulan Kegiatan (DUK) dan Daftar Usulan Proyek (DUP). DUK dan DUP merupakan aplikasi dari perencanaan strategis, yang merupakan produk manajemen modern di era 80 an, yang saat ini sudah mulai ditinggalkan. Dalam pelaksanaan kursus ini pun, sistem pengajarannya masih menggunakan paradigma “murid belajar bila ada guru”. Dengan sistem ini maka outcome yang dicapai tidak akan maksimal apabila dibandingkan dengan sistem “self paced study” yang mampu menjamin transfer pengetahuan (knowledge) secara lebih baik.
Pusdiklatjemen dengan visinya sebagai “center of excellent” dalam bidang manajemen hendaknya menyesuaikan dengan teknologi informasi dan mengimpementasikannya dalam setiap penyelenggaraan kursusnya. Ada beberapa kemungkinan implementasi teknologi informasi mulai dari memanfaatkan teknologi dalam rangka penyusunan bahan ajaran yang mengacu pada self paced study tutorial menggunakan komputer / Computer Based Tutorial (CBT), sampai dengan pembudayaan Knowledge Management (KM). Apabila Pusdiklatjemen tidak memanfaatkan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pendidikannya maka apa yang dicita-citakan menjadi center of excellent akan berhenti sebagai slogan belaka.
Dalam orasi ini, kami peserta Susjemen Rengarhan XXII TA 2003 akan memberikan gambaran tentang implikasi teknologi informasi dalam mendukung manajemen modern dan sekaligus memberikan kenang-kenangan kepada lembaga yang berbeda dari para peserta kursus sebelmunya. Kenang-kenangan tersebut merupakan salah satu contoh implementasi sederhana teknologi informasi dengan biaya yang relatif murah namun dapat menunjang pengambilan keputusan berdasarkan manajemen yang mengakomodasikan kecepatan (velocity)
Teknologi Informasi dan Strategi
Dewasa ini perkembangan teknologi informasi bukan lagi merupakan evolusi tetapi sudah merupakan lompatan sangat cepat (leap) yang mengagumkan. Data tahun 90 an menunjukan bahwa peningkatan kemampuan komputer menjadi dua kali lipat setiap delapan belas bulan, dan jumlah pengguna internet meningkat dua kali lipat setiap setiap tahunnya. Serat optik tunggal mampu menghantar satu setengah juta percakapan dalam waktu yang bersamaan, sedangkan compact disk (CD) mampu menyimpan data sangat besar. Kemajuan semacam ini tentunya membawa implikasi yang sangat luas dalam bidang pertahanan terutama dalam perumusan strategi dan hakekat ancaman.
1. Perumusan Strategi.
Informasi merupakan aset yang strategis bagi setiap organisasi. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak pemerintahan ataupun badan tertentu menghabiskan jutaan bahkan miliaran dolar untuk mendapatkan informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ancaman potensial bagi keamanan mereka. Tanpa informasi yang tepat dapat menyebabkan kegagalan khususnya dalam bidang pertahanan, sehingga kemampuan untuk menyediakan informasi potensial merupakan faktor yang sangat menentukan dari kekuatan pertahanan suatu negara.
Dalam doktrin militer, informasi merupakan bagia integral dari komando dan kendali yang merupakan kunci setiap operasi. Dengan demikian maka setiap langkah yang diambil ditujukan untuk mencapai keunggulan informasi.
Kemajuan teknologi informasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep memenangkan perang. Pada awalnya, cukup dengan konsep Komando dan Kendali (Kodal / K2), yang pada prinsipnya merupkan hubungan intern antara komandan dengan anak buahnya dalam tugas operasi. Tetapi kemudian, ternyata komunikasi dengan kesatuan lain dalam suatu operasi menjadi suatu keharusan. Maka lahirlah konsep baru yaitu Komando, Kendali, dan Komunikasi [K3]. Dengan teknologi komunikasi yang semakin mutakhir, keterangan atau data intelijen (K3I) / Command, control, communications and intelligence (C3I). Di era 90 an, dengan kemajuan teknologi komputer lahirlah konsep Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Intelijen (K4I). Meskipun di Indonesia, K4I masih menjadi angan-nagan tetapi paling menyiratkan adanya kuatu pandangan bahwa sistem informasi yang berbasiskan komputer menjadi fungsi yang sangat penting dalam peperangan. Saat ini menurut para analis, ada konsep baru yaitu Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, dan Manajemen Pertempuran (k4I / MP) sebagai satu kesatuan yang bulat dalam rangka memenangkan pertempuran. (command, control, communications, computers, intelligence and battle management -C4I / BM). Hal ini menunjukan bahwa ternyata teknologi saja tidak cukup untuk memenangkan pertempuran tetapi manajemen pertempuran juga memegang peran penting dalam memenangkan perang.
Clausewitz dengan teori center of gravity menyatakan barang siapa menguasai titik berat dialah yang memenangkan perang. Berdasarkan teori ini, perang berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan teknologi. Pada saat awal perkembangan teknologi, barang siapa menguasai medan strategis, menguasai suatu wilayah, yang dalam skala yang lebih luas, barang siapa menguasai daerah Eropa dan Balkan (heart land), menguasai dunia. Dalam tahap selanjutnya, dengan kemajuan teknologi kelautan, maka barang siapa menguasai lautan, menguasau dunia. Setelah teknologi kedirgantaraan berkembang, maka barang siapa menguasai udara, menguasau dunia. Ini terbukti dengan perlombaan yang seru antara negara adi daya untuk memajuan Angkatan Udaranya, sehingga doktrin perangnya pun berubah dengan mengedepankan serangan udara strategis. Dengan perkembangan teknologi kedirgantaraan yang semakin pesat, maka barang siapa menguasai udara dengan ketinggian 50.000 mil atau lebih, mengasai dunia. Terlebih lagi bila dapat menguasai lunar libration points atau yang lebih dikenal dengan L4 dan L5 yang merupakan tempat – tempat dimana gaya gravitasi bulan dan bumi sama besarnya. Kemajuan teknologi ini mencetuskan konsep Perang Bintang pada jaman presiden Ronald Reagan. Di era 90 an semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat pesat, maka barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba – lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti dan Uni Soviet, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut.
Dengan adanya perubahan konsep perumusan strategi maka sebagai konsekuensinya akan merubah manajemen terutama dari sisi cara kerja organisasi, skala organisasi, dan integrasi sistem.
Dari sisi cara kerja, organisasi militer saat ini memerlukan personel yang “pintar”, untuk mengawaki teknologi yang cukup canggih. Konsekuensinya personel militer haruslah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan orang bisnis. Sebagai bukti, hasil survei yang dilaksanakan oleh Nort Carolina’s Center for Creative Leadership menyatakan hanya 19 persen dari manager di Amerika mempunyai pendidikan post graduate. Jadi, dalam peperangan saat ini terbukti bahwa tentara tidak hanya sekedar menarik platuk saja tetapi harus mempunyai kemampuan yang cukup tinggi.
Dari sisi skala organisasi, Teknologi Informasi membuat organisasi militer menjadi lebih flat, sehingga pengendalian dapat dilakukan dengan lebih longgar. Konsekuensinya, kekuasaan pengambilan keputusan dapat diserahkan pada tingkat serendah mungkin.
Dari sisi integrasi sistem, Teknologi Informasi membuat kompleksitas pada organisasi pertahanan lebih berat dari pada sebelumnya. Kompleksitas ini dapat diatasi dengan menggunakan peranti lunak yang dirancang untuk keperluan tersebut, terutama peranti lunak Data Base. Dengan demikian integrasi sistem dalam organisasi militer menjadi lebih baik.
2. Hakekat Ancaman
Kemajuan teknologi pun menyebabkan terjadinya pergeseran hakekat ancaman. Saat ini hakekat bergeser dari yang sifatnya berasal dari negara (state threat) berideologi tertentu dengan kekuatan senjata menuju pada kelompok (non state threat) dengan tingkat penguasaan teknologi yang tinggi. Menurut Robert D. Steele dalam bukunya The Transformation of War and the Future of the Corps saat ini lawan / hakekat ancaman dikelompokkan menjadi :
a. Militer dengan sistem yang canggih dengan dukungan logistik yang sangat kuat (the high – tech brute)
b. Gabungan antara para penjahat dan teroris seperti penyelundup narkoba (the low – tech brute)
c. Kelompok massa tanpa senjata yang biasanya didorong oleh faktor agama, ideologi / SARA (the low – tech seer)
d. Gabungan antara para penjahat informasi dan spionase ekonomi dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti para hacker (the high – tech seer)
Dilihat dari penguasaan teknologi saat ini dunia terbagi menjadi dua kutub yaitu negara berteknologi tinggi dan negara yang relatif tertinggal secara teknologi. Penguasaan teknologi yang sangat maju justru menjadi ancaman bagi negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Amerika Serikat sebagai negara yang menguasai teknologi menyadari bahwa penguasaan teknologi berpotensi menjadi ancaman bagi negaranya. Seperti yang dinyatakan dalam konferensi tahunan yang diadakan oleh Army War College tahun 1998 dengan tajuk Challenging the United State Symmetrically and Asymmetrically : Can America be Defeated ?. Dari hasil konferensi tersebut diperoleh jawaban yang jelas yaitu bahwa Amerika tidak akan dapat ditaklukkan melalui serangan militer yang simetris (seimbang), tetapi Amerika dapat ditaklukkan dengan serangan yang asimetris (tidak seimbang).
Teknologi berpotensi menjadi ancaman menonjol yang sifatnya asimetris (asymmetric threat). Ancaman asimetris ini ternyata menjadi kenyataan dengan terjadinya serangan yang dikenal sebagai 911 terhadap WTC (World Trade Center) oleh kelompok tertentu (low tech seer) dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi transportasi. Sasaran serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon adalah untuk menghancurkan simbol kedigdayaan teknologi Amerika. Dari kejadian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi canggih disamping merupakan sarana mengungguli lawan dalam rangka memenangkan perang juga sekaligus merupakan sumber ancaman yang potensial.
Masih berkaitan dengan teknologi, ancaman yang menonjol pada saat ini dan jangka waktu ke depan justru berasal bukan dari negara luar tetapi berasal dari kerawanan yang timbul akibat kemajuan teknologi (non state threat). Sebagai contoh, pembelian komputer dan peralatan berteknologi tinggi lainnya; pembangunan dam / pusat listrik; industri; jaringan telekomunikasi; dan sebagainya.
Pemanfaatan dan pembangunan teknologi tinggi seperti ini akan sangat potensial menjadi ancaman bagi negara bila tidak disertai tindakan pengamanan yang memadahi. Ingat kejadian 911 dilakukan dengan menggunakan dua “peluru kendali raksasa berawak” dengan kode boeing 767 yang merupakan bagian dari industri transportasi Amerika.
Teknologi Informasi dan Manajemen
Alvin Toffler membagi sejarah peradaban manusia dalam tiga gelombang yaitu era pertanian, era industri dan era informasi. Dalam ketiga era tersebut, teknologi menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan (enabler). Dalam era pertanian karena teknologi belum begitu berkembang maka faktor yang menonjol adalah Muscle (otot) karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Dalam era industri, faktor yang menonjol adalah Machine (mesin), dan pada era informasi faktor yang menonjol adalah Mind (pikiran, pengetahuan). Alvin juga melukiskan milenium ketiga ini sebagai terra incognita, daerah yang tak dikenal. Dalam dunia semacam itu, maka perspektif Newtonian mengenai perubahan yang linear dan dapat diramalkan menjadi usang dan digantikan oleh teori kekacauan (chaos theory). Perubahan yang terjadi menjadi tidak linear, discontinue dan tak dapat diramal. Kondisi semacam inilah yang menjadi tantangan bagi manajemen modern. Akibatnya, kondisi tersebut menyulitkan kita dalam merencanakan masa depan. Karena itu, konsep perencanaan strategis (PS) yang pernah amat populer hingga era 1980-an kini mulai ditinggalkan orang. Pemikir manajemen termuka, Henry Mintzberg, menulis berita kematian PS dalam artikel yang berjudul The Rise and Fali of Strategic Planning (1994). Bahkan di Harvard Business School – Amerika Serikat tumbuh anggapan bahwa PS menghambat manajemen yang baik.
Dalam praktek PS seperti penyusun DUK dan DIK sering hanya menjadi ritual tahunan untuk merebut sebanyak mungkin sumber daya dengan memperjuangkan program-program yang ditawarkan. Kegagalan PS membuat banyak organisasi kembali menuangkan strategi masa depannya dalam bentuk visi strategis, karena visi menentukan sasaran utama organisasi dan mengilhami setiap orang untuk mengejar satu tujuan bersama. Patricia Jones dan Larry Kahaner (1994) yang meneliti berbagai perusahaan terkemuka di AS, menemukan banyak perusahaan yang menulis kembali pernyataan visi dan misi mereka ketika melakukan restrukturisasi dan rekayasa ulang. Namun demikian, banyak organisasi yang menyatakan memiliki visi tetapi tak berdampak apapun bagi organisasi, karena hanya diperlakukan sebagai slogan tak bermakna. Padahal visi membutuhkan penghayatan dan menjadi dasar dari segala tindakan dalam pengambil keputusan. Menjalankan visi secara benar akan memberikan dampak yang sangat baik bagi organisasi. Hal ini disebabkan oleh :
Pertama, visi memberikan sense of direction yang amat diperlukan untuk menghadapi krisis dan berbagai perubahan. Tanpa visi yang jelas, sulit bisa keluar dari krisis. Sebagai contoh, Bangsa Indonesia tidak memperlakukan “Menciptakan masyarakat adil dan makmur” sebagai suatu visi, tapi sebagai slogan pembangunan. Karena itu, sampai saat ini banyak masalah yang tak jelas arah penanganannya.
Kedua, visi memberikan fokus. Fokus merupakan faktor kunci daya saing organisasi untuk tampil menjadi yang terbaik. Dalam bisnis, hanya perusahaan yang fokus lah yang menjadi pemenang. Sebagai contoh, group Modern mengalami banyak kemunduran karena ketidak fokusannya dalam menjalankan core businessnya.
Ketiga, visi memberikan identitas kepada seluruh anggota organisasi. Ini baru terjadi bila setiap individu menerjemahkan visi tersebut menjadi visi dan nilai pribadi mereka. Sebagai contoh, di perusahaan Fedex pernah terjadi seorang kurir surat berani memutuskan memesan helikopter untuk menjamin sampainya barang ke tujuan pada waktunya, karena ia yakin keputusannya itu mendukung manajemen.
Keempat, visi memberikan makna bagi orang yang terlibat di dalamnya. Orang menjadi lebih bersemangat dan menghayati pekerjaan yang tujuannya jelas. Sebagai contoh, tukang sapu. Tanpa visi, menyapu berarti sekedar memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain. Ini tentu amat membosankan, namun tukang sapu yang bervisi menyadari akan hakikat pekerjaannya sebagai pekerjaann yang bermakna.
Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Dephan untuk merumuskan kembali visi organisasi, karena dalam visi juga terkandung kepemimpinan. Saat ini banyak organisasi yang terlalu banyak dikelola (overmanaged) tapi kurang dipimpin (underled). Ini terjadi karena pimpinan hanya pandai membuat berbagai kebijakan dan prosedur, tapi kurang cakap menciptakan visi ke depan yang menarik dan memberikan inspirasi kepada semua orang dalam organisasinya. Jadi terra incognita antara lain dapat dihadapi dengan perumusan visi yang jelas. Disamping diatasi dengan perumusan visi yang jelas, ketidak pastian di jaman ini dapat pula diatasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka memperoleh informasi secara cepat. Untuk memperoleh informasi secara cepat diperlukan pengetahuan yang sudah tersusun secara rapi dalam organisasi. Knowledge (pengetahuan) merupakan satu hal yang sangat mutlak untuk mengantisipasi jaman yang mengandalkan kecepatan (velocity). Dalam kaitan dengan hal ini, ada cabang manajemen yang relatif baru yaitu Knowledge Management (KM).
Sebenarnya konsep pengelolaan pengetahuan merupakan konsep lama, bahkan sama tuanya dengan umur manusia di dunia ini. Hanya saja bedanya dengan KM memungkinkan kita untuk tidak perlu memulai segalanya dari nol lagi. (We don’t have to always reinventing the wheel).
Konsep KM ini menjadi populer karena kompetisi yang kian tajam dalam memperoleh keunggulan. Ketatnya kompetisi menyadarkan orang bahwa penguasaan pengetahuanlah yang menentukan keunggulan. Keunggulan pada saat ini dirumuskan dalam formula : faster, cheaper and better. Sebagai contoh, Microsoft pada awalnya hanya bermodalkan intelektual kini dapat menciptakan aset fisik dan finansialnya secara luar biasa bahkan menjadikan Bill Gates salah seorang terkaya di dunia. Inilah bukti dari hasil kapitalisasi pengetahuan.
KM terdiri dari 3 komponen utama yaitu people, place dan content. KM membutuhkan orang yang kompeten, tempat untuk melakukan diskusi, dan isi dari diskusi itu sendiri. Dari ketiga komponen tersebut peran teknologi informasi adalah mampu menghilangkan kendala mengenai tempat melakukan diskusi. TI memungkinkan terjadinya diskusi tanpa kehadiran kita secara fisik. Dengan demikian sinergi dapat terus diadakan walaupun kita tidak bertatap muka. Dalam pelaksanaan KM menghadapi masalah utama yaitu masalah perilaku. Pertama, berkaitan dengan ketidakmauan orang untuk berbagi. Oleh karenanya perlu ditumbuhkan mentalitas berkelimpahruahan (abundance mentality) , yang intinya adalah suatu keyakinan bahwa hasil yang maksimal hanya dapat diciptakan dengan saling berbagi. Kedua berkaitan dengan ketidak disiplinan untuk selalu menuliskan apa yang ktia dapatkan. Ini merupakan suatu kendala karena budaya kita lebih cenderung pada budaya lisan. Kita belum bisa mendisiplinkan diri untuk selalu menuliskan pengetahuan dan pengalaman yang kita alami dalam suatu sistem sebagai suatu aset organisasi.
Aset organisasi dalam manajemen dirumuskan dengan 5M (man, money, method, machine, dan market). Manakah yang terpenting diantara tiga aset yang dimiliki perusahaan : fisik, keuangan, atau manusia? Banyak orang yang menjawab: manusia. Alasannya, karena manusialah yang mengelola kedua aset yang lain, walaupun faktanya, banyak yang lebih peduli aset fisik dan finansial daripada manusia. Tetapi, benarkah semua orang dalam organisasi merupakan aset organisasi? Thomas A. Stewart dalam bukunya Intelectual Capital, secara tegas mengatakan “tidak”. Menurut Stewart, yang benar-benar aset hanyalah orang-orang tertentu, yang pekerjaannya berkaitan dengan penambahan pengetahuan dalam organisasi. Stewart membagi karyawan dalam empat kelompok, yaitu :
Pertama, pekerja yang tidak terampil dan setengah terampil. Perusahaan memerlukan mereka, tetapi kesuksesan perusahaan tak tergantung mereka.
Kedua, orang yang melakukan berbagai macam aktivitas, tetapi tak menjadi faktor utama, seperti pekerja pabrik yang terampil, sekretaris yang berpengalaman, bagian keuangan dan staf pendukung lainnya. Mereka melakukan pekerjaan penting dan mungkin sulit digantikan, tapi pekerjaan semacam itu tidak dipedulikan pelanggan. Sebagai contoh, perusahaan periklanan yang menjadi faktor utamanya bukanlah para pekerja seperti tersebut tetapi adalah tim kreatifnya.
Ketiga, para pekerja yang melakukan hal yang dihargai tinggi pelanggan, tetapi sebagai individu mereka tidaklah berguna. Sebagai contoh, buku membutuhkan desain sampul yang bagus, sehingga memerlukan banyak perancang yang hebat. Namun untuk pekerjaan semacam ini, perusahaan bisa melakukan outsourcing.
Keempat, sebagai kelompok yang disebut Stewart sebagai the Stars, yaitu orang-orang dengan peran yang tidak tergantikan sebagai individu. Mereka bisa saja peneliti, manajer proyek, dan kelompol yang sejenis.
Mereka yang termasuk kelompok keempatlah yang benar-benar merupakan aset bagi organisasi. Tanpa maksud diskriminasi organisasi perlu memberikan perhatian penuh pada kelompok ini, karena ditangan merekalah masa depan organisasi. Persoalannya, bagimana memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki, sehingga dapat terakumulasi dan akhirnya menjadi aset organisasi.
Implikasi terhadap Pusdiklatjemen Dephan
Dari uraian diatas, maka untuk tetap menyandang sebutan sebagai center of excellent dalam bidang manajemen maka Pusdiklatjemen seyogyanya melakukan berbagai pembenahan yang meliputi :
a. Membangun sistem informasi yang baik dan menyusun bahan ajaran yang memungkinkan self paced study (ini tidak harus menggunakan komputer)
b. Memanfaatkan teknologi informasi yang meliputi pengembangan sistem informasi yang berbasiskan komputer (computer based informatian system/CBIS) untuk mendukung kegiatan operasional pendidikan, pembangunan peranti lunak pengajaran lewat komputer (computer based tutorial/CBT) dan sistem pakar (expert system/ES) dan digital library.
c. Menjadi pelopor dalam memperkenalkan Knowledge Management di lingkungan TNI, sehingga organisasi tidak terlalu tergantung pada personel tertentu tetapi tergantung pada sistem yang baku.
d. Memanfaatkan peranti lunak yang beredar di pasaran untuk lebih mengoptimalkan pelajaran seperti Network Planning (NWP) yang dapat dibantu dengan memanfaatkan perangkat lunak Manajemen Proyek seperti Microsoft Project, serta memanfaatkan peranti lunak yang umum untuk menjamin kelancaran tugas yang sifatnya dapat diotomatisasikan. Sebagai contoh, pembuatan template dalam tulisan atau produk baku seperti surat menyurat dan produk tulisan dinas yang lainnya.
e. Mengadakan evaluasi terhadap kurikulum terutama dalam SBS manajemen yaitu memberikan pelajaran yang berkaitan dengan reengineering dan yang berkaitan dengan prinsip akuntabilitas, seperti pelajaran AKIP, karena pelajaran ini sangat penting bagi kemajuan organisasi dan relevan dengan tantangan manajemen modern. Sedangkan khusus dalam penyusunan dokumen strategis yang berkaitan dengan manajemen pertahanan perlu diberi waktu yang lebih panjang agar penguasaan terhadap praktek perencanaan strategis secara lebih baik.
Dengan implementasi teknologi informasi seperti yang disebutkan secara singkat diatas, diharapkan Pusdiklatjemen akan mampu mempertahankan diri sebagai center of excellent di bidang manajemen di lingkungan Dephan dan TNI.
Demikianlah makalah “IMPLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP STRATEGI DAN MANAJEMEN PERTAHANAN” yang disusun sebagai Orasi Ilmiah pada acara penutupan Kursus Menajemen Perencanaan dan Penganggaran Pertahanan XXII TA 2003.
Pengertian :
a. Computer Based Information System /CBIS. Suatu sistem informasi dalam suatu organisasi untuk keperluan pengambilan keputusan dengan didukung oleh komputer sebagai alat utama.

b. Computer Based Tutorial /CBT. Salah satu metode pengajaran yang menggunakan komputer sebagai sarana. Berisi program-program pendidikan atau bahan ajaran yang pada umumnya dapat dikerjakan secara interaktif antara siswa dengan komputer.
c. Manajemen adalah ilmu dan seni dalam rangka mengatur sumber daya dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
d. Self Paces Study. Salah satu metode pengajaran yang memungkinkan siswa belajar sesuai dengan minat dan kemauannya, tanpa harus tergantung pada guru, dengan menggunakan buku ataupun media yang lainnya.
e. Sistem Pakar (Expert System / ES). Salah satu sistem pemanfaatan komputer untuk menggantikan peranan tenaga ahli dalam suatu bidang. Sistem ini dapat pula digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan bidang yang memerlukan keahlian khusus.
f. Strategi adalah suatu keputusan yang berkaitan dengan bagaimana suatu masalah itu dipecahkan. Strategi merupakan salah satu tingkat dari hirarki keputusan yaitu :
* Kebijakan (policy), yaitu keputusan yang berhubungan dengan apakah suatu masalah akan dipecahkan atau tidak.
* Strategi (strategy), yaitu keputusan yang berkaitan dengan bagaimana suatu masalah itu dipecahkan.
* Taktik (tactics), yaitu keputusan mengenai bagaimana strategi itu dapat diimplementasikan.
* Operasi (operation), yaitu keputusan mengenai bagimana taktik itu diimplementasikan.
g. Teknologi Informasi (TI) dapat didefinisikan sebagai teknologi yang mempunyai kemampuan sedemikian rupa untuk menangkap (capture), menyimpan (store), mengolah (process), mengambil kembali (retrieve), menampilkan (represent) dan menyebarkan (transmit) informasi. Perkembangan TI merupakan kombinasi antara kemajuan pesat bidang ilmu komputer dan komunikasi.
Referensi
1. Alvin Toffler, Third Wave.
2. Alvin Toffler, War and Anti War.
3. Bill Gates, At the Speed of Thought.
4. Budiman SP, The Impact of Information Technology on Military Strategy.
5. Artikel dari Internet, Memulai Knowledge Management.
Perang modern tidak lagi dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka. Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station, dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada pembantaian di Iraq ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi informasi (IT) yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar